Suasana musim dingin empat tahun yang lalu adalah suasana yang sangat meresahkan untuknya. Saat itu dia selalu bertanya kenapa dia bisa melakukan hal seperti ini? Kenapa dia…ingin menunggu kedatangan lelaki itu kembali? Perasaan resah saat ditinggalkan bukanlah perasaan yang membahagiakan, apalagi sesuatu yang sangat ingin dia rasakan. Apa bagusnya ditinggalkan? Apa ada hal yang membahagiakan dari perasaan seseorang yang ditinggalkan? Tidak. Tidak ada yang menyenangkan. Tidak ada yang membahagiakan. Dan jelas…itu bukanlah perasaan yang ingin dia rasakan…apalagi untuk waktu selama empat tahun.
Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk dilewati….juga bukan waktu yang bisa dilewatkan sambil lalu. Menunggu selama itu bukan sesuatu yang mudah…. Merasakan sakit karena rindu setiap detiknya…merasakan dingin musim dingin tiap tahunnya tanpa ada rasa hangat yang menyapanya…melewatkan hari demi hari dalam kesunyian dan kesepian…semua itu sakit. Sangat sakit. Seandainya air mata bisa bercerita…mungkin semua air matanya akan menghasilkan dongeng tragis yang menyaingi kesedihan Romeo dan Juliet…meski kisah cintanya tidak berakhir tragis seperti mereka….
Hikari Kaiso duduk di café itu dalam kesunyian. Dia berusaha keras untuk mencoba mengalihkan pikirannya dari harapan dan penantiannya akan kedatangan seorang pemuda berambut pirang yang sangat dirindukannya itu. Ya, dia ingin bisa melihat dan bersama dengan Roxas lagi, itu adalah keinginannya yang terbesar selama empat tahun ini setiap hari, jam…bahkan detik, terutama saat dia memainkan biolanya. Hanya saja…setiap kali Hikari memikirkan pemuda berambut pirang itu akhirnya kembali dan datang padanya dia merasakan rasa gugup menguasai pikirannya. Dia merasa gugup. Rasa sungkan dan malu yang berada di antara mereka selama ini mungkin sudah menghilang seiring berjalannya waktu tapi…kali ini pertemuan mereka akan berarti lain bagi keduanya.
Hikari memandangi jam tangannya. Seandainya penerbangan Roxas tidak tertunda, pemuda berambut pirang itu akan tiba di Jepang setengah jam lagi. Hikari tersenyum sebelum mengambil cangkir di hadapannya dan menghirup teh di cangkirnya yang mulai mendingin.
Entah bagaimana wajah Roxas sekarang. Bagaimana pun empat tahun bukan waktu yang sebentar…terutama untuk mengubah penampilan seseorang. Apa pemuda itu bertambah tinggi? Atau…bertambah tampan mungkin? Apa pun mungkin saja terjadi selama dia dan Roxas menjalani kehidupan mereka masing-masing di belahan dunia yang berbeda. Bagaimana pun mereka menjalani hidup dengan orang-orang baru, mengenal orang-orang baru, dan tentu saja…perubahan yang baru.
Hikari selalu berpikir kalau Roxas begitu tampan. Penampilan pemuda itu, rambut pirang pendek, mata biru yang tajam menyimpan kehangatan di balik ketegasan dan kedinginannya, juga sebuah senyum yang sangat dihargai oleh siapa pun yang melihatnya karena begitu jarangnya senyum itu muncul di bibirnya. Pemuda berambut pirang itu selalu menjadi sasaran gadis-gadis dan kadang itu membuat Hikari berpikir…apa Roxas menemukan orang lain yang dia suka selama dia berada di Inggris? Ah, tidak mungkin…orang seperti Roxas bukan tipe orang yang suka memberi harapan palsu pada orang lain. Seandainya dia memang menemukan orang lain selama dia di Inggris tentu pemuda berambut pirang itu sudah memberitahunya sejak lama. Bagaimanapun selama Roxas menyelesaikan kuliah musiknya di Inggris, dia dan Hikari masih berhubungan, meski hanya lewat telepon, email, dan surat saja. Ikatan di antara mereka bukan sesuatu yang rapuh sehingga begitu mudah untuk dihancurkan…ikatan di antara mereka adalah sesuatu yang kuat…dan akan selalu membuat mereka saling percaya satu sama lain…meski benua yang berbeda sudah memisahkan mereka selama ini. Legenda Violin Romance di sekolah mereka sudah mengikat mereka berdua, dan menjadi dongeng yang indah bagi mereka…yang tidak akan pernah dia lupakan dan tukarkan dengan hal apa pun di dunia ini.
Tiba-tiba suara biola terdengar di café itu. Hikari memejamkan matanya, mendengarkan alunan piano itu. Sebuah senyum tersungging di wajahnya saat dia mengingat kalau biola adalah hal yang sangat disukainya…sesuatu yang sangat dia syukuri karena ada di dunia ini. Musik dan biola…adalah hal yang mempertemukan dan menyatukan dia dengan Roxas. Ingatan itu selalu ada di pikiran Hikari, saat-saat yang selalu dihabiskannya untuk memainkan biolanya bersama Roxas. Ingatan yang berharga…terutama ingatan di hari itu…..
“Hikari, apa kau punya waktu sebentar?” tanya Roxas. Gadis berambut hitam itu memandang pemuda berambut pirang di hadapannya sejenak sebelum tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Kelas mereka baru saja selesai beberapa menit lalu dan Hikari, bersama dengan dua sahabatnya, Risa dan Nao, baru saja ingin meninggalkan kelas saat tiba-tiba saja Roxas mendatangi kelas mereka.
“Tentu saja Roxas! Risa, Nao, kalian duluan saja, aku akan segera menyusul,” kata Hikari sambil tersenyum. Dua gadis itu segera meninggalkan mereka berdua, setelah sebelumnya tersenyum dan memandang mereka dengan tatapan seolah-olah mereka sedang menggoda dan menyemangati gadis berambut pirang itu.
“Jadi…apa ada yang bisa kubantu, Roxas?” tanya Hikari sopan pada pemuda berambut pirang itu.
“Apa kau punya rencana pada hari Sabtu awal Desember depan?” tanya Roxas sambil tersenyum hangat pada gadis di hadapannya itu.
Hikari memandang Roxas dengan tatapan bingung. Dia…apa Roxas mengajaknya kencan? Apa perkataan Risa dan Nao yang selama ini dia anggap cuma bercanda itu sungguhan? Hikari meraba dadanya saat dia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tak bisa disangkal, dia selalu mengagumi Roxas sejak pertama kali mengenal pemuda berambut pirang itu dan kemungkinan untuk bisa menjadi kekasih pemuda itu tentu saja adalah sebuah keinginan yang tidak akan disangkal oleh Hikari.
“Hikari? Apa kau mendengarku?” tanya Roxas pelan, membuat gadis berambut hitam itu terhempas keluar dari pemikirannya.
“Ya, tidak…maksuku YA! Ya, aku mendengarmu. Tidak, aku tidak punya rencana hari itu,” kata Hikari sambil tersenyum salah tingkah pada pemuda berambut pirang di hadapannya itu.
“Syukurlah kalau begitu,” kata Roxas sambil kembali tersenyum. “Em…mungkin ini terdengar begitu mendadak tapi…hari Sabtu awal Desember nanti ada sebuah konser kecil. Itu acara ekslusit yang banyak mengundang pemusik-pemusik terkenal dan beberapa tamu terhormat lain. Aku diundang untuk bermain di konser itu dan kuharap kau bisa pergi bersamaku.”
“Tentu saja! Aku akan senang sekali pergi bersamamu!” seru Hikari. “Aku sudah tidak sabar untuk melihatmu tampil, Roxas!”
“Em…bukan begitu. Aku memintamu untuk tampil bersamaku, sebagai pasangan duet,” kata Roxas sambil memandang mata Hikari yang kini terbelalak karena terkejut mendengar perkataan pemuda berambut pirang itu.
“E-eh? Duet? A…apa tidak apa-apa?” Bukannya Hikari tidak ingin tampil bersama Roxas karena sungguh dia ingin sekali bermain biola bersama pemuda berambut pirang itu lagi, tapi…apa kemampuan bermusiknya yang pas-pasan tidak akan menghambat keahlian bermusik Roxas yang sempurna?
“Tentu saja. Kita masih punya waktu untuk berlatih bersama,” kata Roxas, ada nada keyakinan di dalam suaranya. “Atau…kau tidak mau tampil bersamaku?”
“Bukan, bukan begitu. Aku akan bahagia sekali bisa bermain biola bersamamu dalam kesempatan duet seperti ini. Tapi aku…aku cemas kalau aku mungkin akan merusak penampilanmu,” kata Hikari ragu-ragu sambil menundukkan kepalanya menatap lantai marmer sekolahnya.
Suasana sunyi langsung menyelimuti mereka. Tidak ada yang berbicara, membuat suasana di antara mereka berdua menjadi terasa aneh. Hikari menggigit bibir bawahnya sambil meremas jas sekolahnya. Gadis berambut hitam itu baru saja ingin membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, apa saja, untuk memecahkan kesunyian di antara mereka berdua saat tiba-tiba saja….
“Hikari aku…sejak kita bermain biola bersama di villa Xion aku sangat berharap kalau aku bisa memiliki kesempatan untuk memainkan lagu Ave Maria bersamamu lagi,” kata Roxas memecahkan kesunyian di antara mereka.
Hikari terdiam, tapi sebuah senyum bahagia tersungging di bibirnya. Malam itu…Hikari masih bisa mengingat rasa nyaman dan ketenangan yang menyelimuti dirinya ketika dia dan Roxas memainkan lagu itu bersama-sama dengan biola mereka. Ini adalah ajakan yang sangat tidak disangka-sangka; seumur hidup Hikari sedikitpun tidak pernah bermimipi kalau dia akan mendapatkan kesempatan seperti ini. Baiklah, lupakan saja apa yang akan terjadi nanti dan pikirkan saja masa sekarang. Sekarang Roxas mengajaknya untuk memainkan lagu Ave Maria bersamanya dan itu bukan sebuah kesempatan yang akan ditolak Hikari apa pun yang terjadi.
Gadis berambut hitam itu segera mengangkat wajahnya dan memandang wajah tampan Roxas. Senyum di bibirnya semakin melebar saat dia menganggukkan kepalanya dengan antusias. “Aku setuju! Hari Sabtu desember awal dengan lagu Ave Maria, kan?”
“Ada apa Hikari? Apa sedang ada sesuatu yang kau pikirkan?” tanya Roxas. Pertanyaan pemuda berambut pirang itu segera menyadarkan Hikari dari lamunannya.
“Hmm? Oh tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang…berpikir,” kata Hikari sambil tersenyum (meski bagi Roxas perkataan dan senyum itu sama sekali tidak meyakinkan).
“Ada apa?” tanya Roxas sekali lagi, dengan nada suara yang menuntut penjelasan, dan Hikari tahu kalau Roxas akan terus menanyakan hal yang sama sampai dia menjawab pertanyaan pemuda itu dengan jujur.
Hikari menghela napas sambil meletakkan biola yang dipegangnya di atas meja sebelum berdiri dan berjalan ke arah jendela. Butiran-butiran salju berjatuhan menutupi tanah yang berada di balik kaca jendela itu, mewarnai semuanya dengan warna putih yang menenangkan. Hari ini adalah hari terakhir mereka berlatih untuk konser kecil di hari Sabtu itu. Itu berarti hanya tersisa beberapa hari lagi sebelum akhirnya pemuda berambut pirang itu pergi ke Inggris. Sebuah perasaan sakit dan hampa selalu menusuk hati Hikari setiap kali dia mengingat kenyataan itu.
“Aku…sejujurnya setelah malam di villa Xion itu, aku tidak pernah berharap, bahkan untuk bermimpi sekalipun tidak pernah, untuk bisa memainkan lagu Ave Maria bersamamu lagi,” kata Hikari dengan suara pelan, begitu pelan sehingga dia terdengar seperti membisikkan kata-kata itu untuknya sendiri. “Dan sekarang aku memiliki kesempatan untuk berduet lagi bersamamu…memainkan Ave Maria lagi bersamamu…aku sangat bahagia! Tapi entah kenapa…setiap kali mengingat kalau mungkin ini adalah penampilan terakhirmu di Jepang dan setelah itu kau akan pergi untuk waktu yang lama…aku merasa tidak bisa bahagia.” Gadis berambut hitam itu segera memutar tubuhnya dan memandang Roxas, sebuah senyum tersungging di bibir gadis itu.
Senyum kesedihan dan terluka.
Roxas hanya bisa terdiam. Dia sedikitpun tidak bisa memikirkan apa-apa untuk menjawab perkataan gadis berambut hitam di hadapannya itu. Dia hanya bisa berdiri diam, dengan memandang mata Hikari dalam-dalam.
“Ah, apa yang kukatakan, aku terdengar begitu egois dan jahat!” gadis berambut hitam itu tiba-tiba tertawa. “Ayo, lebih baik kita lanjutkan lagi latihan kita. Maaf ya, aku malah melantur,” tambahnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal untuk mengurangi rasa malu yang dirasakannya. Gadis itu segera berjalan kembali ke tempat di mana dia meninggalkan biola dan kertas-kertas musiknya dan segera merapikan kertas-kertas itu, semata-mata hanya untuk menghindari tatapan Roxas yang masih terpaku padanya.
“Hikari…apa kau akan tetap melanjutkan bermain biola?” tanya Roxas tiba-tiba.
Gadis berambut hitam itu segera mendongak dan menatap Roxas dengan tatapan terkejut. Jujur saja, perkataan Roxas adalah sesuatu yang benar-benar tidak pernah disangkanya. “Eh? Melanjutkan….?”
“Berjanjilah padaku,” kata Roxas sambil menghindari pandangan gadis berambut hitam di hadapannya dan memandang pintu ruang latihan mereka sebagai gantinya. “Untuk tetap bermain biola setelah aku pergi nanti.”
Hikari tersenyum. “Tentu saja. Kecintaanku pada biola tidak akan pernah berubah. Aku akan terus bermain,” katanya pada pemuda berambut pirang di hadapannya itu. “Aku berjanji Roxas.”
Lagi-lagi sebuah kesunyian menyelimuti mereka berdua tapi kali ini Hikarilah yang memecahkan kesunyian.
“Tapi…aku punya satu syarat untukmu, Roxas,” kata Hikari tiba-tiba. “Aku berjanji kalau aku akan terus bermain biola bahkan setelah kau pergi asalkan kau berjanji padaku kalau kita akan memainkan Ave Maria sekali lagi segera setelah kau kembali dari Inggris.”
Roxas memandang gadis di hadapannya dengan tatapan terkejut sementara Hikari memandang Roxas dengan tatapan dan senyum penuh harap terlihat di wajahnya. Roxas hanya diam selama beberapa saat sebelum sebuah senyum tersungging di bibirnya.
“Aku berjanji Hikari, dengan syarat kemampuanmu untuk memainkan biola harus cukup bagus untuk menandingiku saat aku kembali dari Inggris nanti,” kata Roxas dengan nada menggoda pada Hikari, membuat gadis berambut hitam itu merengut sesaat. Yah…memang gadis itu selalu merasa kalau dunia dia dan Roxas begitu berbeda, dan dunia Roxas begitu jauh dan tidak terjangkau baginya tapi…bagaimanapun Roxas dididik untuk menjadi pemusik dan memainkan biola saat dia sendiri lebih suka bermain boneka untuk menhabiskan waktu tapi….
Sebuah senyum manis segera tersungging di bibir Hikari.
“Kita lihat saja nanti, Roxas,” katanya dengan nada menantang dan penuh percaya diri pada pemuda berambut pirang itu.
“Kau gugup?”
Hikari tersentak keluar dari lamunannya. Beberapa menit lagi, dia dan Roxas akan tampil di panggung. Hikari sangat menyukai lagu Ave Maria, ditambah lagi dengan kenyataan bisa memainkan lagu itu dengan pemuda berambut pirang di hadapannya ini sekarang.
Tapi…sekarang ini dia akan memainkannya di panggung, dilihat oleh begitu banyak orang, para pemusik-pemusik jenius yang dihormati di dunia musik, dan pemikiran kalau pemusik amatiran seperti dia bermain di hadapan orang-orang seperti itu benar-benar…membuatnya serasa seakan-akan perutnya baru saja tertimpa beton.
“Aku…kurasa lenganku hilang,” bisik Hikari dengan suara gemetar dan meneguk ludah untuk membantu lidahnya yang kini terasa kelu. “Aku sama sekali tidak bisa merasakan lenganku.”
Roxas tertawa mendengar perkataan gadis berambut hitam itu. Bahkan di saat seperti ini pun, gadis itu masih bisa mengatakan sesuatu yang membuat orang lain tertawa.
“Memangnya kau sama sekali tidak gugup?” tanya Hikari pada pemuda berambut pirang di hadapannya. Nada suaranya jelas sekali mengatakan kalau dia menginginkan orang lain, dalam hal ini Roxas, untuk menderita hal yang sama sepertinya.
“Sedikit, tapi rasa gugup kan tidak akan membantu dan menghasilkan apa-apa, jadi untuk apa terlalu dipikirkan?” tanya Roxas dengan nada suara tenang.
Sayangnya ketenanan itu tidak menular dan berpengaruh sedikitpun kepada Hikari.
Roxas memandang gadis berambut hitam di hadapannya itu dengan tatapan serius sebelum akhirnya merengkuh pundak gadis itu lembut. Mata birunya memandang mata Hikari dengan tatapan menusuk. Wajah pemuda berambut pirang itu terlihat lebih serius dari biasanya, membuat Hikari berdiri terpaku karena shock, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti satu sama lain.
“Hikari,” kata Roxas dengan tegas tapi tetap lembut. “Kau harus tenang dan santai saat kau bermain. Percaya pada semua kerja keras kita, percaya pada semua usaha yang sudah kau lakukan dan juga….”
“Roxas…” gumam Hikari pelan.
“Percayalah padaku.”
Dan semua rasa gugup yang Hikari rasakan mendadak menghilang. Hikari menganggukkan kepalanya mantap kepada Roxas.
Dia percaya pada pemuda berambut pirang itu.
Ketika nama mereka dipanggil, Roxas dan Hikari berjalan dengan anggun dan gagah memasuki panggung dan berdiri di posisi masing-masing. Ruangan itu segera menjadi sunyi saat semua orang di dalamnya mengantisipasi pertunjukan terakhir untuk malam itu.
Sedetik sebelum nada pertama dimainkan, mata Roxas dan Hikari bertemu. Dan saat itu, dalam waktu satu detik yang singkat itu, waktu terasa berhenti selamanya untuk mereka berdua. Dunia yang mereka ciptakan untuk musik mereka menjadi hidup dan nada-nada dan melodi indah mengalun dengan indah di ruangan itu. Kedua pemusik itu tenggelam dalam lagu Ave Maria yang mereka mainkan…seperti saat ketika mereka berada di vila Xion pada malam itu. Kini mereka hanyalah Roxas Strife dan Hikari Kaiso—dua orang yang memiliki hasrat yang sama pada biola, tanpa standar apa pun, dan tanpa gelar apa pun.
Seandainya saja…dinginnya musim dingin dapat membekukan waktu dan mereka bisa bersama selamanya…mungkin Hikari akan merasa lebih bahagia.
Karena hari-hari yang berjalan setelah pertunjukan hebat mereka itu berlalu dengan cepat, seakan-akan itu hanyalah bayangan semata.
Dan tiba waktunya bagi Roxas untuk pergi.
Empat tahun. Hikari tidak pernah berpikir kalau dia bisa menanti seseorang selama ini.
Hikari kembali tersenyum. Sekarang penantian itu tidak berarti lagi, karena sebentar lagi dia akan melihat wajah Roxas yang selama ini hanya bisa dia bayangkan. Dia akan segera bisa menyentuh tangan pemuda itu lagi. Dia akan bisa mendengar suara pemuda itu lagi. Dan dia akan bisa mendengar permainan biola pemuda itu lagi. Tanpa sadar, Hikari bangkit dari kursi yang didudukinya dan berjalan keluar café. Di luar café, orang-orang masih berlalu lalang di hadapannya, butirang-butiran salju masih berjatuhan dari langit malam di atasnya dan angin dingin masih berhembus ke arahnya. Gadis berambut hitam itu memandangi sekitarnya sambil mengeratkan mantel yang dipakainya.
Dan tiba-tiba saja sekelabat warna pirang menyapa gadis itu di antara kerumunan, membuat gadis itu terpaku.
“Roxas…” gumam Hikari pelan. Senyum di bibir gadis itu semakin melebar saat dia merasakan jantungnya berdetak cepat karena perasaan senang yang tidak bisa dia hentikan. Dia ingin berlari ke arah pemuda berambut pirang itu, untuk meloncat-loncat karena bahagia, untuk menangis bahagia. Perasaan ini terlalu kuat untuknya, terlalu…menyenangkan tapi dia memilih untuk tetap berdiri dengan tenang dan diam. Gadis berambut hitam itu mengangkat tangannya, memberi tanda bagi pemuda berambut pirang di antara kerumunan itu.
Dan akhirnya, setelah empat tahun penantian yang begitu panjang dan sakit…mata Hikari kembali bisa bertemu pandang dengan mata biru Roxas.
Roxas tersenyum manis pada gadis di hadapannya, membuat Hikari berdiri terpaku dalam diam. Ketika pemuda berambut pirang itu berjalan mendekati gadis berambut hitam itu, Hikari menyadari sebuah kotak biola yang sedikit bergoyang seiring langkah Roxas di tangan pemuda berambut pirang itu.
“Aku pulang…Hikari…” bisik Roxas pelan, tapi entah kenapa terdengar begitu jelas di telinga gadis berambut hitam itu.
Tanpa bisa dicegah, air mata akhirnya mengalir tanpa bisa dihentikan dan Hikari menangis bahagia saat dia berlari mendatangi pemuda berambut pirang yang kini berdiri di hadapannya itu, masih dengan sebuah senyum lembut menghiasi bibirnya.
Akhirnya Roxas kembali…seperti yang dijanjikan pemuda berambut pirang itu padanya….
0 comments:
Post a Comment